Nama : Ainul Fu’adah Hasanah
NIM : 121160004
Kelas : 1A
Mata
Kuliah : Filsafat Ilmu
Tugas : UAS Semester 1
Fakultas Psikologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
1. Aliran
Dualisme adalah Aliran yang berpendapat bahwa benda
terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan
hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu
masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan
keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.
Dari penjelasan di atas sangat bisa
dimengerti dimana sumber ilmu itu tidak hanya berasal dari satu sumber saja.
Karena semua yang ada di dunia ini baik yang bersifat kecil ataupun besar
mempunyai peranan masing- masing dalam perkembangan ilmu itu sendiri. Kalau
orang- orang pendahulu kita ada yang berpendapat bahwa ilmu berkembang hanya
dari satu sumber saja mungkin karena pengetahuan dan hasil penelitian mereka
yang terbatas.
Banyak factor yang menjadi penyebab
terbentuknya dualisme diantaranya karena semakin hari semakin bermunculan
filsuf- filsuf yang pastinya sangat tertarik terhadap hal tersebut. Dan
pemikiran merekapun pasti tidak sama, dengan pemikiran, sudut pandang dan cara
meneliti terhadap sesuatu yang berbeda pasti ada perbedaan juga pada hasil yang
diperoleh.
Misalkan, saya mau mengambil contoh
manusia, dimana dari diri manusia yang berjasad satu tetapi dengan beribu macam
alat kerja yang ada di dalamnya.. Untuk lebih spesifiknya lagi dulisme dari
manusia itu adalah tubuh dan pikiran. Keduanya itu sama- sama mempunyai fungsi
masing- masing, tubuh dengan fungsi yang lebih menonjol pada gerakan yang di
hasilkan, sedangkan pikiran adalah sebuah hasih kerja otak.
Sama halnya dengan pengembangan
ilmu menurut pandangan aliran dualisme, ilmu itu terdiri dari dua hakikat atau
sumber pembentuk. Ilmu itu berkembang dari hasil pemikiran para ahli filsuf
sebelum membagi- baginya lagi menjadi cabang ilmu. Jika ilmu hanya berasal dari
satu sumber saja, kekuatan ilmu itu sendiri tidak terlalu kokoh karena factor
pendukung yang kurang bisa jadi sandaran jika suatu saat banyak pemikiran-
pemikiran yang bermunculan yang bisa menggeser hasil temuan mengenai ilmu
tersebut.
2. LOGICO HIPOTHETICO VERIFICATIF maksudnya
adalah “Buktikan Bahwa itu logis, Tarik Hipotesis, Ajukan Bukti Empiris”
Metode
baku ilmiah ini adalah sebagai acuan kita dalam menghasilkan atau menyusun
segala tulisan yang ada sangkut pautnya dengan ilmiah. Tulisan tidak bisa
dikatakan sebagai karya tulis ilmiah jika tidak menuruti runtutan atau cara
yang harus dilakukan suapaya tulisan kita benar- benar bisa di pertanggung
jawabkan secara ilmiah.
Saya
akan mengambil contoh karya tulis ilmiah hasil observasi terhadap Candi
Borrobur. Dimana setelah kita melakukan pengamatan langsung kepada objek yang
ingin kita teliti ada bayangan- bayangan yang muncul untuk jadi bahan tulisan
kita, bisa menyoroti struktur bangunannya, sejarah berdirinya, atau nilai
religi dan budayanya. Setelah melakukan pengamatan tersebut mulai kita menyusun
sesuai dengan judul atau yang ingin kita rincikan lebih dalam, tetapi tidak
cukup hanya dengan hasil pengamatan langsung kita langsung menyusun tulisan
mengenai Candi Borrobudur tersebut tetapi kita juga harus di dampingi dengan
refernsi- referensi yang bisa memperkuat tulisan kita. Setelah itu baru kita
menyusun, dimulai dengan menyusun kata pengantarnya terlebih dahulu, kemudian
menentukan apa yang akan dijadikan pembahasan dalam karya tulis ilmiah dengan
menerangkan terlebih dahulu dalam latar belakang masalah, kemudian di
pertanyaan- pertanyaan dalam rumusan masalah dan di jawab di tujuan penelitain.
Setelah itu baru kita memasukan materi- materi dari hasil pengamatan kita dan
materi- materi dari buku referensi pada BAB pembahasan. Setelah semuanya
selesai baru kita bisa menceritakan sedikit apa yang ada dalam karya tulis
ilmiah kita dalam abstrak. Untuk lebih memperkuat karya tulis kita jangan
sampai kita lupa untuk menuliskan bahan referensi kita di daftar pustaka karena
disanalah kekuatan yang menjadi pengokoh karya tulis ilmiah kita.
3. Kalau menurut saya kebanyakan ayat- ayat
Qur’an itu mengandung arti yang metafisis dimana kita dituntut untuk mengkaji
lebih dalam lagi untuk memahami apa yang di maksudkan oleh ayat tersebut,
supaya kita tidak salah untuk mengartikannya. Dan dari sifat metafisis tersebut
muncul pemahaman- pemahaman yang sangat berbeda- beda dan hal tersebut juga
yang bisa dijadikan acuan mereka yang mempunyai kajian khusus dan hal tersebut
itu yang menjadikan agama Islam sendiri mempunyai umat yang berbeda keyakinan
atau macam- macam keyakinan seperti NU, Persis, muhammadiah dan yang lainnya.
Termasuk ajaran- ajaran yang menyimpang sekalipun.
Melihat dari sifat metafisis dari beberapa ayat
al-qur’an tersebut tentu al-qur’an bisa di jadikan kajian filsafat karena
membutuhkan pemikiran yang sangat ekstra sampai kita paham dan tahu pada dasar
permasalahan yang diungkapkan pada ayat- ayat qur’an tersebut. Dan kalau
disebutkan seorang filsuf itu sama dengan seorang Mubasir diamana mereka
mengkaji satu persatu masalah yang bersifat metafisis tersebut sehingga bisa
dipahami oleh orang awam seperti kita. Mengkaji dan meneliti sampai ke akar
dasar permasalahan.
Dan disini saya mendapatkan ayat al-qur’an yang
menurut saya ini bisa dijadikan kajian filsafat, yaitu QS. An-Nisa: 119 artinya
“ Dan
pasti akan kusesatkan mereka, dan akan kubangkitkan angan- angan kosong pada
mereka, dan akan kusuruh mereka memotong telinga- telinga binatang ternak,
(lalu mereka benar- benar memotongnya), dan akan aku suruh mereka mengubah
ciptaan Allah, (lalu mereka benar- benar mengubahnya). Barang siapa menjadikan
setan sebagai pelindung selain Allah, maka sesungguh, dia menderita”.
Disini sangat jelas terlihat apabila kita membacanya
hanya selintas saja pasti tidak akan bisa memahami apa yang di maksudkan dalam
ayat tersebut, apa hubungannya manusia dengan telinga- telinga binatang ?
Dan hal tersebut juga yang bisa di jadikan kajian
filsafat ilmu. Memang sedikit kita bisa memahami maksud dari ayat tersebut,
diamana setan yang kerjaannya menggoda manusia hanya menginginkan manusia
mengikuti apa yang mereka serukan dan mengabaikan seruan dari Allah, tapi kalau
dikaji lebih dalam mengenai telinga- telinga binatang saya menemukan ketidak
sesuaian dengan apa yang hendak di kaji dalam ayat tersebut, tapi itu hanyalah
pandangan sepintas saya saja. Pasti kalau di hadapi oleh seorang filsuf atau
Mubasir akan menjawab dengan berbeda karena merka lebih paham apa yang di
maksudkan dalam ayat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar