MAKALAH
TEORI- TEORI PSIKOLOGI DALAM KONSELING
Tugas
Ini Diajukan Untuk Memenuhi salah Satu Tugas Mata Kuliah “Psikologi Konseling”

Oleh :
Ainul Fu’adah Hasanah 1211600004
Andi Ahmad Sobandi 1211600007
Annissa Permatasari Yusra 1211600012
Kelas: 4
A
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
FAKULTAS PSIKOLOGI
2013
KATA PENGANTAR
Bismillaahirahmaanirrohim,
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin,
Allah SWT telah memberikan kelancaran kepada penulis dan telah melimpah-kan taufiq
dan hidayah-Nya dalam penyusunan makalah mengenai “Teori- teori Psikologi dalam Konseling”
ini.
Makalah ini
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan 2,
Alhamdulillah dalam penyusunan laporan ini, penulis tidak terlepas dari
hambatan dan kesulitan, namun berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis ingin
mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Ibu Dr.
Hj. Ulfiah, M.Psi., Psikolog sebagai dosen mata kuliah Psikologi Konseling
2. Serta seluruh pihak yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian laporan praktik profesi ini.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
kritik dan saran yang menunjang ke arah kesempurnaan sangat penulis harapkan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Bandung,
Pebruari 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
hal
KATA
PENGANTAR……………………………………………………………….......….i
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………….......ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang………………………………………………..............……............... 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………............................ 1
1.3 Tujuan Pembahasan………………………………………………….. ...................... 1
1.4 Sistematika Penulisan…………………………………………………...................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Teori
Psikoanalisa .................………………………………..........................................3
2.2 Teori
Behavioral...............................................................................................................7
2.3 Teori
Kognitif..................................................................................................................12
2.4 Teori
Humanistik.............................................................................................................14
BAB III KESIMPULAN……………………....……………………………………..…….17
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.2
Latar Belakang
Dalam masalah konseling perlu diketahui beberapa hal
yang bisa membantu dari suatu proses konseling tersebut, salah satunya mengetahui
teori- teori yang berhubungan dengan konseling itu sendiri di mana psikologi
konseling merupakan ilmu terapan yang telah didahului oleh teori- teori yang
sebelumnya seperi teori psikoanalisisnya Freud yang sangat mengambil peran
dalam adanya psikologi konseling ini karena menurut Freud psikoanalisa
merupakan cara pengobatan yang efektif untuk membantu menangani klien yang
mempunyai masalah dalam hal kecemasan, histeris dan lain sebagainya.
Selain itu teori psikoanlisis, teori- teori lainnya
seperti teori behavioral, teori humanistik dan teori kognitif merupakan teori-
teori yang bisa membantu untuk menyelesaikan masalah- masalah yang terjadi pada
klien. Di mana teori- teori ini bisa dijadikan salah satu rujukan proses
konseling seperti apa yang cocok untuk klien ?. Sama halnya dengan bidang
psikologi yang lainnya dalam proses konseling memahami teori- teori psikologi
adalah hal yang sangat penting dikuasai oleh seorang konselor karena hal
tersebut merupakan hal yang bisa menjadi pegangan kuat bagi konselor dalam
pelaksanaan proses konseling.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka kami merumuskan masalah-masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah Teori Psikoanalisa dalam Konseling ?
2.
Bagaimanakah Teori Behavioral dalam Konseling ?
3.
Bagaimanakah Teori Kognitif dalam Konseling ?
4.
Bagaimanakah Teori Humanistik dalam Konseling ?
1.3 Tujuan Pembahasan
Untuk
mengetahui :
1.
Kegunaan Teori Psikoanalisa dalam Konseling
2.
Kegunaan Teori Behavioral dalam Konseling
3.
Kegunaan Teori Kognitif dalam Konseling
4.
Kegunaan Teori Humanistik dalam Konseling
1.4 Sistematika Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.5 Latar Belakang
1.6 Rumusan Masalah
1.7 Tujuan Pembahasan
1.8 Sistematika
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Teori Psikoanalisa
2.2 Teori
Behavioral
2.3 Teori
Kognitif
2.4 Teori Humanistik
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB
II
PEMBAHASAN
2.2
Teori
Psikoanalisa
Peletak dasar teori psikoanalisa adalah
Sigmund Shlomo Freud, seorang ahli saraf, yang menaruh perhatian pada
ketidaksadaran. Kepribadian manusia terbesar berada pada dunia ketidaksadaran
dan merupakan sumber energi perilaku manusia yang sangat penting.
Letak keunggulan psikoanalisa dalam
konseling menurut Freud adalah sangat efektif untuk menyembuhkan klien/ pasien
yang histeria, cemas, obsesi neurosis. Namun demikian kasus-kasus sehari-hari
dapat juga digunakan pendekatan psikoanalisa ini untuk mengatasinya (Hansen,
1982). Menurut Freud psikoanalisa merupakan suatu metode penyembuhan yang lebih
bersifat psikologis dari pada dengan cara-cara fisik dan konsep-konsep
psikoanalisa banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan konseling.
A. Perilaku Bermasalah
Dalam psikoanalisis klasik ada dua
faktor yang menyebabkan perilaku bermasalah atau perilaku abnormal, yaitu :
1.
Dinamika
yang tidak efektif antara id, ego dan superego ditandai oleh ketidakmampuan ego
mengendalikan keinginan-keinginan dan tuntutan moral. Ketidakmampuan
pengendalian ini dimungkinkan dalam bentuk ego selalu mengikuti dorongan-dorongannya
dan mengabaikan tuntutan moral, atau sebaliknya ego selalu mempertahankan kata
hatinya tanpa menyalurkan keinginan atau kebutuhan. Ketidakseimbangan ini
menimbulkan perilaku yang salah.
2.
Sepanjang
hidup individu pada dasarnya terjadi proses dinamika id, ego dan superego.
Dalam pandangan Freud, pengalaman masa kanak-kanak sangat mempengaruhi pola
kehidupan hingga dewasa. Jika sejak masa kanak-kanak selalu menekan (represi)
pengalaman-pengalamannya dan dimasukkan ke dalam alam bawah sadar maka pada
suatu saat pengalaman itu akan dimunculkan ke alam bawah sadar. Saat itulah
penyesuaian yang salah dapat muncul pada individu.
B. Tujuan Konseling
Secara umum tujuan konseling adalah
mengubah perilaku dalam pengertian yang sangat luas. Dalam pandangan
psikoanalisis, tujuan konseling agar individu mengetahui ego dan memiliki ego
yang kuat (ego strenght). Hal ini berarti bahwa konseling akan
menetapkan ego pada tempat yang benar yaitu sebagai pihak yang mampu memilih
secara rasional dan menjadi mediator antara id dan superego (Cottone, 1992).
Tujuan konseling secara analitik adalah
membentuk kembali struktur karakter individu dengan membuat yang tidak sadar
menjadi sadar pada diri klien. Proses konseling dipusatkan pada usaha
menghayati kembali pengalaman- pengalaman masa kanak- kanak. Pengalaman masa
lampau ditata, didiskusikan, dianalisa dan ditafsirkan dengan tujuan untuk
merekontruksikan kepribadian. Konseling analitik menekankan dimensi afektif
dalam membuat pemahaman ketidak- sadaran. Tilikan dan pemahaman intelektual
sangat penting, tetapi yang lebih penting adalah mengasosiasikan antara
perasaan dan ingatan dengan pemahaman diri.
Ego yang kuat adalah ego yang efektif
dalam menghubungkan dan menemukan kepuasan dari pengaruh- pengaruh libido dari
id dan pada saat yang sama sesuai dengan standar moral yang realistis .
Tujuan ini secara rinci dikemukakan oleh
Nelson-Jones (1982:100) dalam tiga hal,yaitu:
1.
Bebas
dari impuls
2.
Memperkuat
realitas atas dasar fungsi ego
3.
Mengganti
superego sebagai realitas kemanusiaan dan bukan sebagai hukuman standar moral.
Dilihat
dari tujuan- tujuan di atas. Dapat disimpulkan bahwa konseling dalam pandangan
psikoanalisis lebih sebagai proses reedukasi terhadap ego, dari yang sebelumnya
terus tunduk pada impuls- impuls atau hukuman kode moralnya, menjadi lebih
memiliki kekuatan ego.
C. Hubungan Konseling
Prochaska
(1984) mengemukakan bahwa dalam konseling psikoanalisis terdapat dua bagian
hubungan klien dengan konselor. Kedua hubungan itu adalah melakukan aliansi (working
alliance) dan transferensi (transference). Keduanya memiliki fungsi yang
berbeda dalam konseling.
Melakukan
aliansi merupakan sikap klien kepada konselor yang relatif rasional, realistik
dan tidak neurotis. Aliansi ini terjadi pada awal hubungan konselor dengan
klien. Bordin menyatakan bahwa aliansi ini sebagai satu bentuk kerjasama antara
tujuan-tujuan dan tugas-tugas konseling dan atas perkembangan dari
keterikatannya (Kivlighan & Shaughnessy).
Aliansi
merupakan pradokondisi untuk terjadinya keberhasilan konselor, sejak sikap
rasional ini diberikan klien untuk percaya dan bekerjasama dengan konselor.
Konselor yang berhasil membangun hubungan aliansi dimungkinkan lebih berhasil
dalam proses selanjutnya.
Transferensi
merupakan pengalihan segenap pengalaman
klien di masa lalunya terhadap orang- orang yang menguasainya yang ditujukan
kepada konselor. Dalam psikoanalisis, transferensi merupakan bagian dari
hubungan yang sangat penting untuk dianalisis. Transferensi sebagai upaya
analisis konselor dalam membantu kliennya membedakan antara khayalan dengan
realita tentang orang- orang yang telah menguasainya (significant others). Jadi,
transferensi ini membantu klien mencapai pemahaman tentang bagaimana dirinya
telah salah dalam menerima, menginterprestasikan, dan merespon pengalamannya
pada saat ini dalam kaitannya dengan masa lalunya (Gilliland dkk, 1984).
Dalam
hubungan ini, konselor perlu membangun hubungan hangat dengan kliennya dan
perhatian sepenuhnya, untuk terus mejaga kepercayaan klien kepada konselornya.
Dalam hal ini konselor menunjukkan keadaan yang healthier (sama dengan
kongruensi menurut Rogers), yaitu kejujuran tanpa ada sandiwara, sesuai dengan
kenyataan yang ada pada dirinya, tanpa ada sikap defensif.
D. Tahapan Konseling
Menurut
Arlow salah seorang penganut psikoanalisis mengemukakan bahwa konseling
dilaksanakan melalui empat tahap, yaitu :
1. Tahap Pembukaan
Tahap
pembukaan ini terjadi pada permulaan interview hingga masalah klien ditetapkan.
Terdapat dua bagian pada tahap ini, yaitu :
a. Disepakati tentang truktur situasi
analisis yang menyangkut tanggung jawab konselor dan klien.
b. Dimulai dengan klien menyimpukan
posisinya, sementara konselor terus mempelajari dan memahami dinamika konflik
konflik ketidaksadaran yang dialami klien. Pada tahap ini klien menyatakan
tentang dirinya dan konselor mengamati dan merekam untuk refensi tahap
berikutnya.
2. Pengembangan Transferensi
Perkembangan
dan analisis transferensi merupak inti dalam psikoanalisis. Pada fase ini
perasaan klien mulai ditujukan kepada konselor, yang dianggap sebagai orang
yang telah menguasainya di masa lalunya (significant figure person).
Pada
tahap ini konselor harus menjaga jangan sampai terjadi kontratransferensi,
yaitu transferensi balik yang dilakukan konselor kepada klien karena konselor
memiliki perasaan- perasaan yang tidak terpecahkan. Kontratransferensi ini
jangan sampai mengganggu hubungan konseling dan bercampur dengan analisis
transferensi klien.
3. Bekerja Melalui Transferensi
Tahap
ini mencakup mendalami pemecahan dan pengertian klien sebagai orang yang terus
melakukan transferensi. Tahap ini dapat tumpang tindih dengan tahap sebelumnya,
hanya saja transferensi terus berlangsung, dan konselor berusaha memahami
tentang dinamika kepribadian kliennya.
4. Resolusi Transferensi
Tujuan
dari tahap ini adalah memecahkan perilaku neurotik klien yang ditunjukkan
kepada konselor sepanjang hubungan konseling. Konselor juga mulai mengembangkan
hubungan yang dapat meningkatkan kemandirian pada klien dan menghindari adanya
ketergantungan klien terhadap konselornya.
E. Teknik Spesifik
Teknik
spesifik yang digunakan Freud dalam psikoterapi ada 4 yaitu :
1. Asosiasi Bebas
Asosiasi
bebas merupakan teknik yang memberikan kebebasan kepada klien untuk
mengemukakan segenap perasaan dan pikirannya yang terlintas pada benak klien,
baik yang menyenangkan maupun yang tidak. Klien melepaskan perasaannya melalui
proses katarsis, sehingga dia dapat melepaskan segenap perasaan yang
mengekangnya. Asosiasi bebas ini untuk memudahkan pemahaman konselor terhadap
dinamika psikologis yang terjadi padanya, sehigga dapat membimbing klien untuk
menyadari pengalaman- pengalaman ketidaksadarannya, dan membuat hubungan-
hubungan antara kecemasannya saat ini dengan pengalaman di masa lampaunya.
2. Interpretasi Mimpi
Merupakan
teknik di mana klien mengemukakan segenap mimpi- mimpinya kepada terapis, karea
fungsi mimpi adalah ekspresi segenap kebutuhan, dorongan, keinginan yang tidak
disadari akan direpresi dan termanifes dalam mimpi.
Interpretasi
mimpi maksudnya klien diajak konselor untuk menafsirkan makna- makna yang
tersirat dalam mimpi yang berhubungan dengan dorongan ketidaksadarannya.
3. Analisis Transferensi
Transferensi
merupakan bentuk pengalihan segenap
pengalaman masa lalunya dalam hubunganya dengan orang- orang yang berpengaruh
kepada terapis di saat konseling. Dalam transferensi ini akan muncul perasaan
benci, ketakutan dan kecemasan yang selama ini ditekan diungkapkan kembali,
dengan sasaran konselor sebagai objeknya.
Dalam
kontek ini konselor melakukan analisis pengalaman klien di masa kecilnya,
terutama hal- hal yang menghambat perkembangan kepribadiannya. Dengan analisis
transferensi diharapkan klien dapat mengatasi problem yang dihadapi hingga saat
ini.
4. Analisis Resistensi
Resistensi
merupakan sikap dan tindakan klien untuk
menolak berlangsungnya terapi atau mengungkapkan hal- hal yang menimbulkan kecemasan.
Perilaku ini dilakukan sebagai bentuk pertahanan diri. Dalam konseling,
konselor membantu klien mengenali alasa- alasan klien melakukan resistensi.
Analisis resistensi sebaiknya dimulai dari hal- hal yang sangat tampak untuk
menghindari penolakan atas interpretasi konselor.
Teknik-
teknik spesifik ini tidak biasa dilakukan dalam hubungan konseling, tetapi
lebing banyak digunakan dalam psikoterapi dalam membatu pasien yang mengalami
psikopatologis.
2.2
Teori
Behavioristik
Menurut
Krumboltz dan Thoresen (Shertzer & Stone, 1980, 190) konseling
behavioristik adalah suatu proses membantu orang untuk belajar memecahkan
masalah interpersonal, emosional, dan keputusan tertentu. Penekanan istilah
belajar dalam pengertian ini adalah atas pertimbangan bahwa konselor membantu
klien belajar atau mengubah perilaku.
Pendekatan
behavioral merupakan pilihan untuk membantu klien yang mempunyai masalah
spesifik seperti gangguan makan, penyalahgunaan zat, dan disfungsi
psikoseksual. Juga bermanfaat untuk mambantu gangguan yang diasosiasikan dengan
anxietas, stres, asertivitas, berfungsi sebagai orangrua dan interaksi sosial
(Gladding, 2004).
Sejalan
dengan pendekatan yang digunakan dalam teori behavioral, konseling behavioral
menaruh perhatian pada upaya perubahan perilaku. Sebagai sebuah pendekatan yang
relatif baru, perkembangannya sejak 1960-an, konseling behavioral telah memberi
impilkasi yang amat besar dan spesifik pada teknik dan strategi konseling dan
dapat diintegrasikan ke dalam pendekatan lain.
Saat
ini konseling/ terapi behavioral berkembang pesat dengan ditemukannya sejumlah
teknik-teknik pengubahan perilaku, baik yang menekankan pada aspek fisiologis,
perilaku, maupun kognitif (Hackmann, 1993). Rachman (1963) dan Wolpe (1963)
mengemukakan bahwa terapi behavioral dapat menangani masalah perilaku mulai
dari kegagalan individu untuk belajar merespon secara adaptif hingga mengatasi
gejala neurotik.
A. Perilaku Bermasalah
Perilaku
bermasalah dalam pandangan behavioris dapat dimaknakan sebagai perilaku atau
kebiasaan-kebiasaan negatif atau perilaku yang tidak tepat, yaitu perilaku yang
tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perilaku yang salah penyesuaian terbentuk
melalui proses interaksi dengan lingkungannya. Artinya bahwa perilaku individu
itu meskipun secara sosial adalah tidak tepat, dalam beberapa saat memperoleh
ganjaran dari pihak tertentu. Dari cara demikian akhirnya perilaku yang tidak
diharapka secara sosial atau perilaku yang tidak tepat itu menguat pada
individu.
Perilaku
yang salah dalam penyesuaian dengan demikian berbeda dengan perilaku normal.
Perbedaan ini tidak terletak pada cara memperlajarinya, tetapi pada
tingkatannya, yaitu wajar dipandang. Perilaku dikatakan mengalami salah
penyesuaian jika tidak selamanya membawa kepuaan bagi individu atau pada akhirnya
membawa individu konflik dengan lingkungannya. Kepuasan individu terhadap
perilakunya bukanlah ukuran bahwa perilaku itu harus dipertahankan, karena
adalakanya perilaku itu dapat menimbulkan kesulitan di kemudian hari (Hansen
dkk., 1982), perilaku yang perlu dipertahankan atau dibentuk pada individu
adalah perilaku yang bukan sekadar memperoleh kepuasan pada jangka pendek,
tetapi perilaku yag tidak menghadapi kesulitan- kesulitan yang lebih luas, dan
dalam jangka yang lebih panjang.
B. Tujuan Konseling
Corey
(1977) dan George dan Cristiani (1990) mengemukakan bahwa konseling behavioral
itu memiliki ciri- ciri sebagai berikut :
1.
Berfokus
pada perilaku yang tampak dan spesifik
2.
Memerlukan
kecermatan dalam perumusa tujuan terapeutik
3.
Mengembangka
prosedur perlakuan spesifik sesuai masalah klien
4.
Penaksiran
objektif atas tujua terapeutik
Tujuan
konseling behavior adalah mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku
simtomatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau hambatan perilaku,
yang dapat membuat ketidakpuasan dalam jangka panjang dan atau mengalami
konflik dengan kehidupan sosial.
Secara
khusus, tujuan konseling behavioral mengubah perilaku salah dalam penyesuaian
dengan cara-cara memperkuat perilaku yang diharapkan, dan meniadakan perilaku
yang tidak diharapkan serta membantu menemukan
cara-cara berperilaku yang tepat.
Penganut
behavioral berkeyakinan bahwa tujuan konseling dalam batas-batas perilaku yang
tampak adalah sangat berguna dibandingkan tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam
makna yang sangat berguna dibandingkan tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam
makna yang sangat luas, seperti pemahaman diri atau penerimaan diri. Artinya,
bahwa konseling diharapkan dapat menghasilkan perubahan-perubahan perilaku yang
jelas. Krumboltz (Pietrofesa dkk., 1978) menegaskan 3 kriteria tujuan
konseling, yaitu :
1.
Tujuan
konseling harus dibuat secara berbeda untuk setiap klien.
2.
Tujuan
konseling untuk setiap klien akan dapat dipadukan dengan nilai- nilai konselor,
meskipun tidak perlu identik.
3.
Tujuan
konseling disusun secara bertingkat, yang dirumuskan dengan perilaku yang dapat
diamati dan dicapai klien.
Krumboltz
mengemukakan bahwa dengan dirumuskannya perubahan perilaku dalam bentuk
operasional sebagai tujuan konseling, maka akan menimbulkan konsekuensi sebagai
berikut :
1.
Konselor
dan klien akan lebih jelas mengantisipasi apa yang akan diproses dalam
konseling, yang telah dan yang tidak akan diselesaikan.
2.
Psikologi
konseling menjadi lebih terintegritas dengan teori-teori psikologi beserta
hasil penelitiannya.
3.
Perbedaan
kriteria harus diaplikasikan secara berbeda dalam mengukur keberhasilan
konseling.
C. Prosedur Konseling
Tokoh
aliran psikologi behavioral John D. Krumboltz dan Carl Thoreses (Gibson dan
Mitchell, 1981) menempatkan prosedur belajar dalam empat kategori, sebagai
berikut :
1. Belajar Operan (operant learning),
adalah belajar didasarkan atas perlunya pemberian ganjaran (reinforcement)
untuk menghasilkan perubahan perilaku yang diharapkan. Ganjaran dapat diberikan
dalam bentuk dorongan dan penerimaan sebagai persetujuan, pembenaran atau
perhatian konselor terhadap perilaku yang dilakukan klien.
2. Belajar mencontoh (imitative
learning), yaitu cara dalam memberikan respon baru melalui menunjukkan atau
mengerjakan model- model perilaku yang diinginkan dehingga dapat dilakukan oleh
klien.
3. Belajar kognitif (cognitive
learning), yaitu belajar memelihara respon yang diharapkan dan boleh
mengadaptasi perilaku yang lebih baik melalui instruksi sederhana.
4. Belajar emosi (emotional learning), yaitu
cara yang digunakan utuk mengganti respon- respon emosional klien yang tidak
dapat diterima menjadi respon emosional yang dapat diterima sesuai dengan
konteks classical cinditioning.
Teori
behavioral berasumsi bahwa perilaku klien adalah hasil kondisi konselor. Oleh
karena itu, konselor dalam setiap menyelenggarakan konseling harus beranggapan
bahwa setiap reaksi klien adalah akibat dari situasi (stimulus) yang
diberikannya.
Tujuan
konseling behavioral dalam pengambilan keputusan adalah secara nyata membuat
keputusan. Konselor behavioral bersama klien bersepakat menyusun urutan
prosedur pengubahan perilaku yang akan diubah, dan selanjutnya konselor
menstimuli perilaku klien G.C. Henricks bersama teman-temannya (Pietrofesa
dkk., 1978).
D. Peran Konselor
Pada
umumnya konselor yang mempunyai orientasi behavioral bersikap aktif dalam sesi-sesi
konseling. Klien belajar, meghilangkan atau belajar kembali bertingkah laku
tertentu. Dalam proses ini, konselor berfungsi sebagai konsultan, guru,
penasihat, pemberi dukungan dan fasilitator.
Ia
juga memberi instruksi atau mensupervisi orang-orang pendukung yang ada
dilingkungan klien yang membantu dalam proses perubahan tersebut. Konselor
behavioral yang efektif beroperasi dengan perspektif yang luas dan terlibat
dengan klien dalam setiap fase konseling (Gladding, 2004).
E. Teknik Spesifik
Konseling
behavioral memiliki sejumlah teknik spesifik yang digunakan untuk melakukan
pegubahan perilaku berdasarkan tujuan yang hendak dicapai.
1. Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi
sistematis merupakan teknik relaksasi yang digunakan untuk menghapus perilaku
yang diperkuat secara negatif biasanya berupa kecemasan, dan ia menyertakan
respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan. Dengan
pengondisian klasik, respon respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan
secara bertahap.
Cara
yang digunakan dalam keadaan santai stimulus yang menimbulkan kecemasan
dipasangkan dengan stimulus yang menimbulkan keadaan santai. Dipasangkan secara
berulang- ulang sehingga stimulus yang semula menimbulkan kecemasan hilang
secara berangsur- angsur.
2. Terapi Implosif
Terapi
implosif dikembangkan berdasarkan atas asumsi bahwa seseorang yang secara
berulang- ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan
konsekuensi- konsekuensi yang menakutkan ternyata tidak muncul, maka kecemasan
akan menghilang. Atas dasar asumsi ini, klien diminta untuk membayangkan
stimulus sumber kecemasan dan konsekuensi yang diharapkan ternyata tidak
muncul, akhirnya stimulus yang mengancam tidak memiliki kekuatan dan
neurotiknya menjadi hilang.
3. Latihan Perilaku Asertif
Latihan
asertif digunakan untuk melatih individu yang mengalami kesulitan untuk
meyatakan diri bahwa tindakanya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama
berguna di antaranya untuk membantu orang yang tidak mampu mengungkapkan
perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan “tidak”, mengungkapkan afeksi dan
respon positif lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran
dengan bimbingan konselor. Diskusi- diskusi kelompok diterapkan untuk latihan
asertif ini.
4. Pengondisian Aversi
Teknik
pengondisian aversi dilakukan untuk meredakan perilaku simptomatik dengan cara
menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan) sehingga perilaku
yang tidak dikehendaki (simptomatik) tersebut terhambat kemunculannya. Stimulus
dapat berupa sengatan listrik atau rauman- rauman yang membuat mual.
5. Pembentukan Perilaku Model
Perilaku
model digunakan untuk:
1.
Membentuk
perilaku baru pada klien,
2.
Memperkuat
perilaku yang sudah terbentuk.
Dalam hal ini konselor menunjukkan
kepada klien tentang perilaku model, dapat menggunakan model audio, model
fisik, moedel hidup, atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis perilaku
yang hendak dincontoh. Perilaku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari
konselor. Ganjaran tersebut dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.
6. Kontrak Perilaku
Didasarkan
atas pandangan bahwa membantu klien untuk membentuk perilaku tertentu yang
diinginkan dan memperoleh ganjaran tertentu sesuai dengan kontrak yang
disepakati. Dalam hal ini individu mengantisipasi perubahan perilaku mereka
atas dasar persetujuan bahwa beberapa konsekuensi akan muncul.
Kontrak
perilaku adalah persetujuan antara dua orang atau lebih (konselor dan klien)
untuk mengubah perilaku tertentu pada klien. Konselor dapat memilih perilaku
yang realistik dan dapat siterima oleh kedua pihak. Setelah perilaku
dimunculkan sesuai dengan kesepakatan, ganjaran dapat diberikan kepada klien.
Dalam terapi ini ganjaran positif terhadap perilaku yang dibentuk lebih
dipentingkan daripada pemberian hukuma jika kontrak perilaku tidak berhasil.
2.3
Teori
Kognitif
Kognisi
adalah pikiran, keyakinan dan image-image internal yang dipunyai
seseorang tentang peristiwa-peristiwa di dalam hidupnya. Beck, Rush, Shaw dan
Emery (1979) mendifinisikan kognisi sebagai “either a thought or a visual
image that you may not be aware of unless you focus your attention on it”. Teori-teori
konseling yang bersifat kognitif memfokuskan pada proses-proses mental dan
pengaruhnya pada kesehatan mental dan tingkah laku. Premis umum dari semua pendekatan
kognitif ialah bahwa pikiran seseorang menentukan bagaimana perasaan mereka dan
bagaimana mereka akan bertingkah laku.
Menurut
Hackney dan Cormier (2001), aplikasi dari intervensi terapi kognitif adalah
ekstensif. Menurut mereka, klien yang sukses dengan pendekatan kognitif adalah
mereka yang mempunyai karakteristik- karakteristik berikut :
·
Mempunai
intelegensi rata- rata atau di atas rata- rata.
·
Distres
fungsional yang dialami bertaraf sedang atau berat.
·
Mempunyai
kemampuan mengidentifikasi perasaan- perasaan dan pikiran.
·
Tidak
ada dalam keadaan krisis, psikotik atau amat parah terganggu oleh masalahnya.
·
Mempunyai
khasanah keterampilan (repertoire of skills) atau respon- respon
behaviral yang adekuat.
·
Mempunyai
kemampuan untuk memproses informasi secara visual atau auditori.
·
Yang
orientasi aktivitasnya adalah analitik.
Pendekatan behavioral menekankan pada
perubahan tingkah laku. Teknik-tekniknya ditunjukan pada mengubah tingkah laku
seseorang. Pendekatan kognitif, memfokuskan pada kognisi, teknik-teknikmya pun
berusaha mengubah kognisi yang salah.
A. Rational
Emotive Behavior Therapy (REBT)
REBT dulu dikenal sebagai RET (Rational Emotive Therapy) (Ellis, 1995).
Menurut Gladding (2004), teori yang dikembangkan oleh Ellis ini serupa dengan
pendekatan kognitif yang dikembangkan oleh Aaron Beck. Corey (2001) mengatakan
bahwa ada perbedaan antara terapi yang dikembangkan oleh Beck dan REBT,
terutama dalam hal metode dan gaya terapi. Misalnya, REBT sangat direktif,
persuasive, dan konfrontatif, sedangkan Beck memakai dialog Sokratik dengan
menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka dengan tujuan agar klien
merefleksikan isu-isu personal dan sampai pada kesimpulan mereka sendiri.
Perkembangan kedua pendekatan ini terjadi secara independen pada saat yang bersamaan.
B. Peran
Konselor
Dalam pendekatan REBT, konselor
adalah aktif dan direktif. Mereka adalah instruktur yang mengajari dan
membetulkan kognisi klien. Menentang keyakinan yang sudah berakar mendalam
memerlukan lebih daripada sekedar logika. Perlu repitisi konsisten. karena itu
konselor harus mendengarkan denagan hati-hati pernyataan-pernyataan klien yang
tidak logis atau salah dan menentang keyakinan ini. Seorang konsleor REBT harus
mempunyai ciri-ciri berikut: pandai, berpengetahuan laus, empatik, menaruh
respek, genuine, konkret, persisten,
ilmiah, berminat membantu orang lain dan ia sendiri menggunakan REBT.
C. Teknik-teknik
yang Digunakan
Menurut Gladding (2004), REBT
menggunakan berbagai macam teknik. Dua yang utama adalah mengajari (disputing). Mengajari, menyangkut
memeberikan pemahaman tentang ide dasar REBT dan memahami bahwa pikiran
bertautan dengan emosi dan tingkah laku. Menantang pemikiran dan keyakinan
terjadi dalam tiga bentuk. Menantang kognisi, melalui pertanyaan-pertanyaan
langsung, penalaran logis dan persuasi. Tantangan imajinal menggunakan
kemampuan klien untuk berimajinasi; tantangan tingkah laku mencakup bertingkah
laku dengan cara yang bertentangan dengan yang biasanya dilakukan klien,
misalnya melalui bermain peran atau menyelesaikan tugas ketika klien harus
melakukan sesuatu yang dahulunya dianggap tidak mungkin untuk dilakukannya.
Kadang-kadang klien harus membaca buku membantu diri-sendiri (self-help). Dua teknik lain adalah
konfrontasi dan memberi dukungan. Secara eksplisit klien didorong untuk
membuang proses-proses berpikir yang tidak bermanfaat.
Aaron Beck, Albert Ellis, dan Donald
Meichenbaum adalah tiga pakar pendekatan kognitif behavioral. Ada terdapat
berbagai perbedaan dalam pendekatan mereka. Tetapi, seperti yang dikatakn oleh
Gladding (2004), kebanyakan terapi kognitif pada akhirnya akan melibatkan
tingkah laku juga, sehingga dapat dikatakan sebagai kognitif-behavioral juga
2.4 Teori Humanistik
Istilah
humanistik dalam hubungannya dengan konseling, memfokuskan pada potensi
individu untuk secara aktif memilih dan membuat keputusan berkaitan dengan dirinya sendiri dan lingkungannya.
Para profesinal yang memakai pendekatan
humanistik membantu individu untuk meningkatkanpemahaman diri melalui mengalami
perasaan-perasaan mereka. Isitilah humanistik sangat luas memfokuskan pada
individu sebagai pembuat keputusan dan pencetus pertumbuhan dan perkembangan
diri mereka sendiri (Gladding, 2004). Yang akan dibicarakan di sini adalah Person-centered counseling dari Carl
Rogers.
A.
Person-Centered
Counseling (Client-centered Conseling)
Carl
Rogers adalah orang yang diidentikkan dengan konseling tipe ini. Ialah yang
peertama-tama memformulasikan teori ini dalam bentuk psikoterapi nondirektif di
dalam bukunya Counseling and Psychoterapy,
yang terbit pada tahun 1942. Teori ini kemudian berkembang menjadi client-centered/person-centered counseling dan
diaplikasikan untuk pendekatan kelompok, keluarga, masyarakat dan juga untuk
individu.
B.
Pandangan
Tentang Manusia
Implisit
dalam person-centered counseling adalah
pandangan bahwa orang pada dasaranya adalah baik (Rogers,1971). Karakteristik
manusia adalah positive, forward moving,
constructive, realistc, and trustworthy (Rogers,1957, hlm 99). Setiap
pribadi adalah orang yang sadar, terarah dari dalam (inner directed) dan bergerak ke arah aktualisasi diri, sejak dari
bayi.
Menurut
Rogers, aktualisasi diri adalah dorongan yang paling menonjol dan memotivasi
eksistensi dan mencakup tindakan yang mempengaruhi keseluruhan kepribadian.
Rogers memandang manusia secara fenomenologis: yang penting adalah persepsi
manusia tentang realitas. Kadang-kadang teori Rogers dipandang sebagai self-theory karena
konsep self adalah sentral
dalam teorinya. Self berasal dari
pengalaman dari seseorang, dan kesadaran tentang self ini.
Untuk
munculnya self yang sehat, orang memerlukan positive regard-love warmth, care, dan accepatance. Tetapi, pada masa
kanak-kanak dan kemudian, orang biasanya menerima conditional regards dari orangtua dan orang lain. Perasaan berharga
berkembang bila seseorang bertingkah laku dengan cara tertentu sesuai dengan
yang dikehendaki oleh orang yang persetujuannya diharapkan, karena akseptansi
kondisional mengajarkan orang untuk merasa berharga hanya bila ia konform
dengan orang lain. Individu yang terperangkap dalam dilema semacam ini menjadi
sadar akan inkongruitas antara persepsi diri dan realitas. Kalau orang tidak
melakukan seperti yang dikehendaki orang lain, ia tidak akan diterima atua
dihargai. Tetapi, bila ia konfrom, ia aka n membuka jurang antara ideal self (apa yang orang inginkan
dirinya untuk menjadi) dan real self (apa
adanya dirinya). Makin jauh jurang antara keduanya, orang akan menjadi makin maladjusted.
C.
Peran
Konselor
Peran
konselor bersifat holistik, berakar pada cara mereka berada dan sikap-sikap
mereka, tidak pada teknik-teknik yang dirancang agar klien melakukan sesuatu.
Penelitian menunjukkan bahwa sikap-sikap terpisahlah yang memfasilitasi
perubahan pada klien dan bukan pengetahuan, teori, atau teknik-teknik yang
mereka miliki. Terapis menggunakan dirinya sendiri sebagai instrument
perubahan. Fungsi mereka menciptakan
iklim terapeutik yang membantu klien untuk tumbuh. (Rogers, 1951, 1980) ia juga
menulis tentang kualitas I-Thou.
Konselor menyadari bahasa verbal dan
nonverbal klien dan merefleksikannya kembali. Konselor dank lien tidak tahu
kemana sesi akan terarah dan sasaran apa yang akan dicapai. Konselor percaya
bahwa klien akan mengembangkan agenda mengenai apa yang ingin dicapainya.
Konselor hanya fasilitator dan kesabaran adalah esensial.
D.
Teknik-Teknik
Konseling
Untuk
terapis person-centered, kualitas
hubungan konseling jauh lebih penting daripada teknik. Rogers (1957) percaya
bahwa ada tiga kondisi yang perlu dan sudah cukup untuk konseling, yaitu (1)empathy;
(2) positive regard (acceptance), dan (3) congruence (genuineness).
Empati
adalah kemampuan konselor untuk merasakan bersama dengan klien dan menyampaikan
pemahaman ini kembali kepada mereka. Empati adalah usaha untuk berpikir tentang
atau untuk mereka (brammer, Abrego & Shostrom; 1993). Rogers (1980)
mengatakan bahwa penelitian yang ada makin menunjukkan bahwa empati dalam suatu
hubungan mungkin adalah faktor yang paling berpengaruh dan sudah pasti
merupakan salah satu faktor yang paling membawa perubahan dan pembelajaran. Positive regard yang dikenal juga
sebagai akseptansi adalah genuine caring yang
mendalam untuk klien sebagai pribadi-sangat menghargai klien karena
keberadaannya (Rogers,1971, 1980). Kongruensi adalah kondisi transparan dalam
hubungan terapeutik dengan tidak memakai topeng atau pulasan-pulasan (Rogers,
1980). Menurut Rogers perubahan kepribadian yang positif dan signifikan hanya
bisa terjadi di dalam suatu hubungan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pendekatan psikoanalisa dalam konseling
menurut Freud adalah sangat efektif untuk menyembuhkan klien/ pasien yang
histeria, cemas, obsesi neurosis. Namun demikian kasus- kasus sehari- hari
dapat juga digunakan pendekatan psikoanalisa ini untuk mengatasinya (Hansen,
1982). Menurut Freud psikoanalisa merupakan suatu metode penyembuhan yang lebih
bersifat psikologis dari pada dengan cara- cara fisik dan konsep- konsep
psikoanalisa banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan konseling.
Pendekatan behavioral merupakan pilihan
untuk membantu klien yang mempunyai masalah spesifik seperti gangguan makan,
penyalahgunaan zat, dan disfungsi psikoseksual. Juga bermanfaat untuk mambantu
gangguan yang diasosiasikan dengan anxietas, stres, asertivitas, berfungsi
sebagai orangrua dan interaksi sosial (Gladding, 2004).
Teori- teori konseling yang bersifat
kognitif memfokuskan pada proses- proses mental dan pengaruhnya pada kesehatan
mental dan tingkah laku. Premis umum dari semua pendekatan kognitif ialah bahwa
pikiran seseorang menentukan bagaimana perasaan mereka dan bagaimana mereka
akan bertingkah laku.
Pendekatan
humanistik membantu individu untuk meningkatkanpemahaman diri melalui mengalami
perasaan-perasaan mereka. Isitilah humanistik sangat luas memfokuskan pada
individu sebagai pembuat keputusan dan pencetus pertumbuhan dan perkembangan
diri mereka sendiri (Gladding, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Latipun. 2011. Psikologi Konseling. Malang :UPT
Penerbitan Universitas Muhammadiyah
Malang
Surya, Muhammad.1988. Dasar- Dasar Konseling
Pendidikan (Konsep dan Teori). Yogyakarta : Kota
Kembang “Yogyakarta”
Lesmana, Jeanette Murad. 2006. Dasar- Dasar Konseling. Jakarta
:UI Press
Terimakasih.. tulisannya sangat bermanfaat sekali
BalasHapushttp://http%3A%2F%2Fblog.binadarma.ac.id%2Fay_ranius.wordpress.com