Rabu, 20 Maret 2013

Teori - Toeri Psikologi dalam Konseling



MAKALAH
                               TEORI- TEORI PSIKOLOGI DALAM KONSELING 
Tugas Ini Diajukan Untuk Memenuhi salah Satu Tugas Mata Kuliah “Psikologi Konseling



Oleh :
Ainul Fu’adah Hasanah          1211600004
Andi Ahmad Sobandi                1211600007
Annissa Permatasari Yusra     1211600012
Kelas: 4 A




UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
FAKULTAS PSIKOLOGI
2013
KATA PENGANTAR
Bismillaahirahmaanirrohim,
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin, Allah SWT telah memberikan kelancaran kepada penulis dan telah melimpah-kan taufiq dan hidayah-Nya dalam penyusunan makalah mengenai “Teori- teori Psikologi dalam Konseling” ini.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan 2, Alhamdulillah dalam penyusunan laporan ini, penulis tidak terlepas dari hambatan dan kesulitan, namun berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1.       Ibu Dr. Hj. Ulfiah, M.Psi., Psikolog sebagai dosen mata kuliah Psikologi Konseling
2.      Serta seluruh pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian laporan praktik profesi ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang menunjang ke arah kesempurnaan sangat penulis harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.


Bandung,  Pebruari 2013


Penyusun   









DAFTAR ISI
hal
KATA PENGANTAR………………………………………………………………........i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….......ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang………………………………………………..............……............... 1
1.2     Rumusan Masalah…………………………………………………............................ 1
1.3     Tujuan Pembahasan………………………………………………….. ...................... 1
1.4     Sistematika Penulisan…………………………………………………...................... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1  Teori Psikoanalisa .................………………………………..........................................3
2.2  Teori Behavioral...............................................................................................................7
2.3  Teori Kognitif..................................................................................................................12
2.4  Teori Humanistik.............................................................................................................14


BAB III KESIMPULAN……………………....……………………………………..…….17

DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN

1.2 Latar Belakang  
Dalam masalah konseling perlu diketahui beberapa hal yang bisa membantu dari suatu proses konseling tersebut, salah satunya mengetahui teori- teori yang berhubungan dengan konseling itu sendiri di mana psikologi konseling merupakan ilmu terapan yang telah didahului oleh teori- teori yang sebelumnya seperi teori psikoanalisisnya Freud yang sangat mengambil peran dalam adanya psikologi konseling ini karena menurut Freud psikoanalisa merupakan cara pengobatan yang efektif untuk membantu menangani klien yang mempunyai masalah dalam hal kecemasan, histeris dan lain sebagainya.
Selain itu teori psikoanlisis, teori- teori lainnya seperti teori behavioral, teori humanistik dan teori kognitif merupakan teori- teori yang bisa membantu untuk menyelesaikan masalah- masalah yang terjadi pada klien. Di mana teori- teori ini bisa dijadikan salah satu rujukan proses konseling seperti apa yang cocok untuk klien ?. Sama halnya dengan bidang psikologi yang lainnya dalam proses konseling memahami teori- teori psikologi adalah hal yang sangat penting dikuasai oleh seorang konselor karena hal tersebut merupakan hal yang bisa menjadi pegangan kuat bagi konselor dalam pelaksanaan proses konseling.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kami merumuskan masalah-masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah Teori Psikoanalisa dalam Konseling ?
2.      Bagaimanakah Teori Behavioral dalam Konseling ?
3.      Bagaimanakah Teori Kognitif dalam Konseling ?
4.      Bagaimanakah Teori Humanistik dalam Konseling ?


1.3 Tujuan Pembahasan
Untuk mengetahui :
1.      Kegunaan Teori Psikoanalisa dalam Konseling
2.      Kegunaan Teori Behavioral dalam Konseling
3.      Kegunaan Teori Kognitif dalam Konseling
4.      Kegunaan Teori Humanistik dalam Konseling





1.4  Sistematika Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I      PENDAHULUAN
1.5  Latar Belakang
1.6  Rumusan Masalah
1.7  Tujuan Pembahasan
1.8  Sistematika
BAB II   PEMBAHASAN
2.1 Teori Psikoanalisa
2.2 Teori Behavioral
2.3 Teori Kognitif
2.4 Teori Humanistik

BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA















BAB II
PEMBAHASAN
2.2  Teori Psikoanalisa
Peletak dasar teori psikoanalisa adalah Sigmund Shlomo Freud, seorang ahli saraf, yang menaruh perhatian pada ketidaksadaran. Kepribadian manusia terbesar berada pada dunia ketidaksadaran dan merupakan sumber energi perilaku manusia yang sangat penting.
Letak keunggulan psikoanalisa dalam konseling menurut Freud adalah sangat efektif untuk menyembuhkan klien/ pasien yang histeria, cemas, obsesi neurosis. Namun demikian kasus-kasus sehari-hari dapat juga digunakan pendekatan psikoanalisa ini untuk mengatasinya (Hansen, 1982). Menurut Freud psikoanalisa merupakan suatu metode penyembuhan yang lebih bersifat psikologis dari pada dengan cara-cara fisik dan konsep-konsep psikoanalisa banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan konseling.
A.    Perilaku Bermasalah
Dalam psikoanalisis klasik ada dua faktor yang menyebabkan perilaku bermasalah atau perilaku abnormal, yaitu :
1.      Dinamika yang tidak efektif antara id, ego dan superego ditandai oleh ketidakmampuan ego mengendalikan keinginan-keinginan dan tuntutan moral. Ketidakmampuan pengendalian ini dimungkinkan dalam bentuk ego selalu mengikuti dorongan-dorongannya dan mengabaikan tuntutan moral, atau sebaliknya ego selalu mempertahankan kata hatinya tanpa menyalurkan keinginan atau kebutuhan. Ketidakseimbangan ini menimbulkan perilaku yang salah.
2.      Sepanjang hidup individu pada dasarnya terjadi proses dinamika id, ego dan superego. Dalam pandangan Freud, pengalaman masa kanak-kanak sangat mempengaruhi pola kehidupan hingga dewasa. Jika sejak masa kanak-kanak selalu menekan (represi) pengalaman-pengalamannya dan dimasukkan ke dalam alam bawah sadar maka pada suatu saat pengalaman itu akan dimunculkan ke alam bawah sadar. Saat itulah penyesuaian yang salah dapat muncul pada individu.


B.     Tujuan Konseling
Secara umum tujuan konseling adalah mengubah perilaku dalam pengertian yang sangat luas. Dalam pandangan psikoanalisis, tujuan konseling agar individu mengetahui ego dan memiliki ego yang kuat (ego strenght). Hal ini berarti bahwa konseling akan menetapkan ego pada tempat yang benar yaitu sebagai pihak yang mampu memilih secara rasional dan menjadi mediator antara id dan superego (Cottone, 1992).
Tujuan konseling secara analitik adalah membentuk kembali struktur karakter individu dengan membuat yang tidak sadar menjadi sadar pada diri klien. Proses konseling dipusatkan pada usaha menghayati kembali pengalaman- pengalaman masa kanak- kanak. Pengalaman masa lampau ditata, didiskusikan, dianalisa dan ditafsirkan dengan tujuan untuk merekontruksikan kepribadian. Konseling analitik menekankan dimensi afektif dalam membuat pemahaman ketidak- sadaran. Tilikan dan pemahaman intelektual sangat penting, tetapi yang lebih penting adalah mengasosiasikan antara perasaan dan ingatan dengan pemahaman diri.
Ego yang kuat adalah ego yang efektif dalam menghubungkan dan menemukan kepuasan dari pengaruh- pengaruh libido dari id dan pada saat yang sama sesuai dengan standar moral yang realistis .
Tujuan ini secara rinci dikemukakan oleh Nelson-Jones (1982:100) dalam tiga hal,yaitu:
1.      Bebas dari impuls
2.      Memperkuat realitas atas dasar fungsi ego
3.      Mengganti superego sebagai realitas kemanusiaan dan bukan sebagai hukuman standar moral.
Dilihat dari tujuan- tujuan di atas. Dapat disimpulkan bahwa konseling dalam pandangan psikoanalisis lebih sebagai proses reedukasi terhadap ego, dari yang sebelumnya terus tunduk pada impuls- impuls atau hukuman kode moralnya, menjadi lebih memiliki kekuatan ego.

C.    Hubungan Konseling
Prochaska (1984) mengemukakan bahwa dalam konseling psikoanalisis terdapat dua bagian hubungan klien dengan konselor. Kedua hubungan itu adalah melakukan aliansi (working alliance) dan transferensi (transference). Keduanya memiliki fungsi yang berbeda dalam konseling.
Melakukan aliansi merupakan sikap klien kepada konselor yang relatif rasional, realistik dan tidak neurotis. Aliansi ini terjadi pada awal hubungan konselor dengan klien. Bordin menyatakan bahwa aliansi ini sebagai satu bentuk kerjasama antara tujuan-tujuan dan tugas-tugas konseling dan atas perkembangan dari keterikatannya (Kivlighan & Shaughnessy).
Aliansi merupakan pradokondisi untuk terjadinya keberhasilan konselor, sejak sikap rasional ini diberikan klien untuk percaya dan bekerjasama dengan konselor. Konselor yang berhasil membangun hubungan aliansi dimungkinkan lebih berhasil dalam proses selanjutnya.
Transferensi merupakan pengalihan segenap pengalaman klien di masa lalunya terhadap orang- orang yang menguasainya yang ditujukan kepada konselor. Dalam psikoanalisis, transferensi merupakan bagian dari hubungan yang sangat penting untuk dianalisis. Transferensi sebagai upaya analisis konselor dalam membantu kliennya membedakan antara khayalan dengan realita tentang orang- orang yang telah menguasainya (significant others). Jadi, transferensi ini membantu klien mencapai pemahaman tentang bagaimana dirinya telah salah dalam menerima, menginterprestasikan, dan merespon pengalamannya pada saat ini dalam kaitannya dengan masa lalunya (Gilliland dkk, 1984).
Dalam hubungan ini, konselor perlu membangun hubungan hangat dengan kliennya dan perhatian sepenuhnya, untuk terus mejaga kepercayaan klien kepada konselornya. Dalam hal ini konselor menunjukkan keadaan yang healthier (sama dengan kongruensi menurut Rogers), yaitu kejujuran tanpa ada sandiwara, sesuai dengan kenyataan yang ada pada dirinya, tanpa ada sikap defensif.

D.    Tahapan Konseling
Menurut Arlow salah seorang penganut psikoanalisis mengemukakan bahwa konseling dilaksanakan melalui empat tahap, yaitu :
1.      Tahap Pembukaan
Tahap pembukaan ini terjadi pada permulaan interview hingga masalah klien ditetapkan. Terdapat dua bagian pada tahap ini, yaitu :
a.       Disepakati tentang truktur situasi analisis yang menyangkut tanggung jawab konselor dan klien.
b.      Dimulai dengan klien menyimpukan posisinya, sementara konselor terus mempelajari dan memahami dinamika konflik konflik ketidaksadaran yang dialami klien. Pada tahap ini klien menyatakan tentang dirinya dan konselor mengamati dan merekam untuk refensi tahap berikutnya.
2.      Pengembangan Transferensi
Perkembangan dan analisis transferensi merupak inti dalam psikoanalisis. Pada fase ini perasaan klien mulai ditujukan kepada konselor, yang dianggap sebagai orang yang telah menguasainya di masa lalunya (significant figure person).
Pada tahap ini konselor harus menjaga jangan sampai terjadi kontratransferensi, yaitu transferensi balik yang dilakukan konselor kepada klien karena konselor memiliki perasaan- perasaan yang tidak terpecahkan. Kontratransferensi ini jangan sampai mengganggu hubungan konseling dan bercampur dengan analisis transferensi klien.
3.      Bekerja Melalui Transferensi
Tahap ini mencakup mendalami pemecahan dan pengertian klien sebagai orang yang terus melakukan transferensi. Tahap ini dapat tumpang tindih dengan tahap sebelumnya, hanya saja transferensi terus berlangsung, dan konselor berusaha memahami tentang dinamika kepribadian kliennya.
4.      Resolusi Transferensi
Tujuan dari tahap ini adalah memecahkan perilaku neurotik klien yang ditunjukkan kepada konselor sepanjang hubungan konseling. Konselor juga mulai mengembangkan hubungan yang dapat meningkatkan kemandirian pada klien dan menghindari adanya ketergantungan klien terhadap konselornya.

E.      Teknik Spesifik
Teknik spesifik yang digunakan Freud dalam psikoterapi ada 4 yaitu :
1.      Asosiasi Bebas
Asosiasi bebas merupakan teknik yang memberikan kebebasan kepada klien untuk mengemukakan segenap perasaan dan pikirannya yang terlintas pada benak klien, baik yang menyenangkan maupun yang tidak. Klien melepaskan perasaannya melalui proses katarsis, sehingga dia dapat melepaskan segenap perasaan yang mengekangnya. Asosiasi bebas ini untuk memudahkan pemahaman konselor terhadap dinamika psikologis yang terjadi padanya, sehigga dapat membimbing klien untuk menyadari pengalaman- pengalaman ketidaksadarannya, dan membuat hubungan- hubungan antara kecemasannya saat ini dengan pengalaman di masa lampaunya.


2.      Interpretasi Mimpi
Merupakan teknik di mana klien mengemukakan segenap mimpi- mimpinya kepada terapis, karea fungsi mimpi adalah ekspresi segenap kebutuhan, dorongan, keinginan yang tidak disadari akan direpresi dan termanifes dalam mimpi.
Interpretasi mimpi maksudnya klien diajak konselor untuk menafsirkan makna- makna yang tersirat dalam mimpi yang berhubungan dengan dorongan ketidaksadarannya.
3.      Analisis Transferensi
Transferensi merupakan bentuk pengalihan segenap pengalaman masa lalunya dalam hubunganya dengan orang- orang yang berpengaruh kepada terapis di saat konseling. Dalam transferensi ini akan muncul perasaan benci, ketakutan dan kecemasan yang selama ini ditekan diungkapkan kembali, dengan sasaran konselor sebagai objeknya.
Dalam kontek ini konselor melakukan analisis pengalaman klien di masa kecilnya, terutama hal- hal yang menghambat perkembangan kepribadiannya. Dengan analisis transferensi diharapkan klien dapat mengatasi problem yang dihadapi hingga saat ini.
4.      Analisis Resistensi
Resistensi merupakan sikap dan tindakan klien untuk menolak berlangsungnya terapi atau mengungkapkan hal- hal yang menimbulkan kecemasan. Perilaku ini dilakukan sebagai bentuk pertahanan diri. Dalam konseling, konselor membantu klien mengenali alasa- alasan klien melakukan resistensi. Analisis resistensi sebaiknya dimulai dari hal- hal yang sangat tampak untuk menghindari penolakan atas interpretasi konselor.
Teknik- teknik spesifik ini tidak biasa dilakukan dalam hubungan konseling, tetapi lebing banyak digunakan dalam psikoterapi dalam membatu pasien yang mengalami psikopatologis.


2.2              Teori Behavioristik
Menurut Krumboltz dan Thoresen (Shertzer & Stone, 1980, 190) konseling behavioristik adalah suatu proses membantu orang untuk belajar memecahkan masalah interpersonal, emosional, dan keputusan tertentu. Penekanan istilah belajar dalam pengertian ini adalah atas pertimbangan bahwa konselor membantu klien belajar atau mengubah perilaku.
Pendekatan behavioral merupakan pilihan untuk membantu klien yang mempunyai masalah spesifik seperti gangguan makan, penyalahgunaan zat, dan disfungsi psikoseksual. Juga bermanfaat untuk mambantu gangguan yang diasosiasikan dengan anxietas, stres, asertivitas, berfungsi sebagai orangrua dan interaksi sosial (Gladding, 2004).
Sejalan dengan pendekatan yang digunakan dalam teori behavioral, konseling behavioral menaruh perhatian pada upaya perubahan perilaku. Sebagai sebuah pendekatan yang relatif baru, perkembangannya sejak 1960-an, konseling behavioral telah memberi impilkasi yang amat besar dan spesifik pada teknik dan strategi konseling dan dapat diintegrasikan ke dalam pendekatan lain.
Saat ini konseling/ terapi behavioral berkembang pesat dengan ditemukannya sejumlah teknik-teknik pengubahan perilaku, baik yang menekankan pada aspek fisiologis, perilaku, maupun kognitif (Hackmann, 1993). Rachman (1963) dan Wolpe (1963) mengemukakan bahwa terapi behavioral dapat menangani masalah perilaku mulai dari kegagalan individu untuk belajar merespon secara adaptif hingga mengatasi gejala neurotik.

A.    Perilaku Bermasalah
Perilaku bermasalah dalam pandangan behavioris dapat dimaknakan sebagai perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau perilaku yang tidak tepat, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perilaku yang salah penyesuaian terbentuk melalui proses interaksi dengan lingkungannya. Artinya bahwa perilaku individu itu meskipun secara sosial adalah tidak tepat, dalam beberapa saat memperoleh ganjaran dari pihak tertentu. Dari cara demikian akhirnya perilaku yang tidak diharapka secara sosial atau perilaku yang tidak tepat itu menguat pada individu.
Perilaku yang salah dalam penyesuaian dengan demikian berbeda dengan perilaku normal. Perbedaan ini tidak terletak pada cara memperlajarinya, tetapi pada tingkatannya, yaitu wajar dipandang. Perilaku dikatakan mengalami salah penyesuaian jika tidak selamanya membawa kepuaan bagi individu atau pada akhirnya membawa individu konflik dengan lingkungannya. Kepuasan individu terhadap perilakunya bukanlah ukuran bahwa perilaku itu harus dipertahankan, karena adalakanya perilaku itu dapat menimbulkan kesulitan di kemudian hari (Hansen dkk., 1982), perilaku yang perlu dipertahankan atau dibentuk pada individu adalah perilaku yang bukan sekadar memperoleh kepuasan pada jangka pendek, tetapi perilaku yag tidak menghadapi kesulitan- kesulitan yang lebih luas, dan dalam jangka yang lebih panjang.



B.     Tujuan Konseling
Corey (1977) dan George dan Cristiani (1990) mengemukakan bahwa konseling behavioral itu memiliki ciri- ciri sebagai berikut :
1.      Berfokus pada perilaku yang tampak dan spesifik
2.      Memerlukan kecermatan dalam perumusa tujuan terapeutik
3.      Mengembangka prosedur perlakuan spesifik sesuai masalah klien
4.      Penaksiran objektif atas tujua terapeutik

Tujuan konseling behavior adalah mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku simtomatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau hambatan perilaku, yang dapat membuat ketidakpuasan dalam jangka panjang dan atau mengalami konflik dengan kehidupan sosial.
Secara khusus, tujuan konseling behavioral mengubah perilaku salah dalam penyesuaian dengan cara-cara memperkuat perilaku yang diharapkan, dan meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta membantu menemukan  cara-cara berperilaku yang tepat.
Penganut behavioral berkeyakinan bahwa tujuan konseling dalam batas-batas perilaku yang tampak adalah sangat berguna dibandingkan tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam makna yang sangat berguna dibandingkan tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam makna yang sangat luas, seperti pemahaman diri atau penerimaan diri. Artinya, bahwa konseling diharapkan dapat menghasilkan perubahan-perubahan perilaku yang jelas. Krumboltz (Pietrofesa dkk., 1978) menegaskan 3 kriteria tujuan konseling, yaitu :
1.      Tujuan konseling harus dibuat secara berbeda untuk setiap klien.
2.      Tujuan konseling untuk setiap klien akan dapat dipadukan dengan nilai- nilai konselor, meskipun tidak perlu identik.
3.      Tujuan konseling disusun secara bertingkat, yang dirumuskan dengan perilaku yang dapat diamati dan dicapai klien.

Krumboltz mengemukakan bahwa dengan dirumuskannya perubahan perilaku dalam bentuk operasional sebagai tujuan konseling, maka akan menimbulkan konsekuensi sebagai berikut :
1.      Konselor dan klien akan lebih jelas mengantisipasi apa yang akan diproses dalam konseling, yang telah dan yang tidak akan diselesaikan.
2.      Psikologi konseling menjadi lebih terintegritas dengan teori-teori psikologi beserta hasil penelitiannya.
3.      Perbedaan kriteria harus diaplikasikan secara berbeda dalam mengukur keberhasilan konseling.
C.    Prosedur Konseling
Tokoh aliran psikologi behavioral John D. Krumboltz dan Carl Thoreses (Gibson dan Mitchell, 1981) menempatkan prosedur belajar dalam empat kategori, sebagai berikut :
1.      Belajar Operan (operant learning), adalah belajar didasarkan atas perlunya pemberian ganjaran (reinforcement) untuk menghasilkan perubahan perilaku yang diharapkan. Ganjaran dapat diberikan dalam bentuk dorongan dan penerimaan sebagai persetujuan, pembenaran atau perhatian konselor terhadap perilaku yang dilakukan klien.
2.      Belajar mencontoh (imitative learning), yaitu cara dalam memberikan respon baru melalui menunjukkan atau mengerjakan model- model perilaku yang diinginkan dehingga dapat dilakukan oleh klien.
3.      Belajar kognitif (cognitive learning), yaitu belajar memelihara respon yang diharapkan dan boleh mengadaptasi perilaku yang lebih baik melalui instruksi sederhana.
4.      Belajar emosi (emotional learning), yaitu cara yang digunakan utuk mengganti respon- respon emosional klien yang tidak dapat diterima menjadi respon emosional yang dapat diterima sesuai dengan konteks classical cinditioning.

Teori behavioral berasumsi bahwa perilaku klien adalah hasil kondisi konselor. Oleh karena itu, konselor dalam setiap menyelenggarakan konseling harus beranggapan bahwa setiap reaksi klien adalah akibat dari situasi (stimulus) yang diberikannya.
Tujuan konseling behavioral dalam pengambilan keputusan adalah secara nyata membuat keputusan. Konselor behavioral bersama klien bersepakat menyusun urutan prosedur pengubahan perilaku yang akan diubah, dan selanjutnya konselor menstimuli perilaku klien G.C. Henricks bersama teman-temannya (Pietrofesa dkk., 1978).

D.    Peran Konselor
Pada umumnya konselor yang mempunyai orientasi behavioral bersikap aktif dalam sesi-sesi konseling. Klien belajar, meghilangkan atau belajar kembali bertingkah laku tertentu. Dalam proses ini, konselor berfungsi sebagai konsultan, guru, penasihat, pemberi dukungan dan fasilitator.
Ia juga memberi instruksi atau mensupervisi orang-orang pendukung yang ada dilingkungan klien yang membantu dalam proses perubahan tersebut. Konselor behavioral yang efektif beroperasi dengan perspektif yang luas dan terlibat dengan klien dalam setiap fase konseling (Gladding, 2004).

E.     Teknik Spesifik
Konseling behavioral memiliki sejumlah teknik spesifik yang digunakan untuk melakukan pegubahan perilaku berdasarkan tujuan yang hendak dicapai.
1.      Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi sistematis merupakan teknik relaksasi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara negatif biasanya berupa kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan. Dengan pengondisian klasik, respon respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap.
Cara yang digunakan dalam keadaan santai stimulus yang menimbulkan kecemasan dipasangkan dengan stimulus yang menimbulkan keadaan santai. Dipasangkan secara berulang- ulang sehingga stimulus yang semula menimbulkan kecemasan hilang secara berangsur- angsur.
2.      Terapi Implosif
Terapi implosif dikembangkan berdasarkan atas asumsi bahwa seseorang yang secara berulang- ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi- konsekuensi yang menakutkan ternyata tidak muncul, maka kecemasan akan menghilang. Atas dasar asumsi ini, klien diminta untuk membayangkan stimulus sumber kecemasan dan konsekuensi yang diharapkan ternyata tidak muncul, akhirnya stimulus yang mengancam tidak memiliki kekuatan dan neurotiknya menjadi hilang.
3.      Latihan Perilaku Asertif
Latihan asertif digunakan untuk melatih individu yang mengalami kesulitan untuk meyatakan diri bahwa tindakanya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu orang yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan “tidak”, mengungkapkan afeksi dan respon positif lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi- diskusi kelompok diterapkan untuk latihan asertif ini.
4.      Pengondisian Aversi
Teknik pengondisian aversi dilakukan untuk meredakan perilaku simptomatik dengan cara menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan) sehingga perilaku yang tidak dikehendaki (simptomatik) tersebut terhambat kemunculannya. Stimulus dapat berupa sengatan listrik atau rauman- rauman yang membuat mual.
5.      Pembentukan Perilaku Model
Perilaku model digunakan untuk:
1.      Membentuk perilaku baru pada klien,
2.      Memperkuat perilaku yang sudah terbentuk.
            Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang perilaku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, moedel hidup, atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis perilaku yang hendak dincontoh. Perilaku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran tersebut dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.
6.      Kontrak Perilaku
Didasarkan atas pandangan bahwa membantu klien untuk membentuk perilaku tertentu yang diinginkan dan memperoleh ganjaran tertentu sesuai dengan kontrak yang disepakati. Dalam hal ini individu mengantisipasi perubahan perilaku mereka atas dasar persetujuan bahwa beberapa konsekuensi akan muncul.
Kontrak perilaku adalah persetujuan antara dua orang atau lebih (konselor dan klien) untuk mengubah perilaku tertentu pada klien. Konselor dapat memilih perilaku yang realistik dan dapat siterima oleh kedua pihak. Setelah perilaku dimunculkan sesuai dengan kesepakatan, ganjaran dapat diberikan kepada klien. Dalam terapi ini ganjaran positif terhadap perilaku yang dibentuk lebih dipentingkan daripada pemberian hukuma jika kontrak perilaku tidak berhasil.


2.3              Teori Kognitif
Kognisi adalah pikiran, keyakinan dan image-image internal yang dipunyai seseorang tentang peristiwa-peristiwa di dalam hidupnya. Beck, Rush, Shaw dan Emery (1979) mendifinisikan kognisi sebagai “either a thought or a visual image that you may not be aware of unless you focus your attention on it”. Teori-teori konseling yang bersifat kognitif memfokuskan pada proses-proses mental dan pengaruhnya pada kesehatan mental dan tingkah laku. Premis umum dari semua pendekatan kognitif ialah bahwa pikiran seseorang menentukan bagaimana perasaan mereka dan bagaimana mereka akan bertingkah laku.
Menurut Hackney dan Cormier (2001), aplikasi dari intervensi terapi kognitif adalah ekstensif. Menurut mereka, klien yang sukses dengan pendekatan kognitif adalah mereka yang mempunyai karakteristik- karakteristik berikut :
·         Mempunai intelegensi rata- rata atau di atas rata- rata.
·         Distres fungsional yang dialami bertaraf sedang atau berat.
·         Mempunyai kemampuan mengidentifikasi perasaan- perasaan dan pikiran.
·         Tidak ada dalam keadaan krisis, psikotik atau amat parah terganggu oleh masalahnya.
·         Mempunyai khasanah keterampilan (repertoire of skills) atau respon- respon behaviral yang adekuat.
·         Mempunyai kemampuan untuk memproses informasi secara visual atau auditori.
·         Yang orientasi aktivitasnya adalah analitik.
      Pendekatan behavioral menekankan pada perubahan tingkah laku. Teknik-tekniknya ditunjukan pada mengubah tingkah laku seseorang. Pendekatan kognitif, memfokuskan pada kognisi, teknik-teknikmya pun berusaha mengubah kognisi yang salah.

A.    Rational Emotive Behavior Therapy (REBT)
            REBT dulu dikenal sebagai RET (Rational Emotive Therapy) (Ellis, 1995). Menurut Gladding (2004), teori yang dikembangkan oleh Ellis ini serupa dengan pendekatan kognitif yang dikembangkan oleh Aaron Beck. Corey (2001) mengatakan bahwa ada perbedaan antara terapi yang dikembangkan oleh Beck dan REBT, terutama dalam hal metode dan gaya terapi. Misalnya, REBT sangat direktif, persuasive, dan konfrontatif, sedangkan Beck memakai dialog Sokratik dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka dengan tujuan agar klien merefleksikan isu-isu personal dan sampai pada kesimpulan mereka sendiri. Perkembangan kedua pendekatan ini terjadi secara independen pada saat yang bersamaan.

B.     Peran Konselor
            Dalam pendekatan REBT, konselor adalah aktif dan direktif. Mereka adalah instruktur yang mengajari dan membetulkan kognisi klien. Menentang keyakinan yang sudah berakar mendalam memerlukan lebih daripada sekedar logika. Perlu repitisi konsisten. karena itu konselor harus mendengarkan denagan hati-hati pernyataan-pernyataan klien yang tidak logis atau salah dan menentang keyakinan ini. Seorang konsleor REBT harus mempunyai ciri-ciri berikut: pandai, berpengetahuan laus, empatik, menaruh respek, genuine, konkret, persisten, ilmiah, berminat membantu orang lain dan ia sendiri menggunakan REBT.

C.    Teknik-teknik yang Digunakan
            Menurut Gladding (2004), REBT menggunakan berbagai macam teknik. Dua yang utama adalah mengajari (disputing). Mengajari, menyangkut memeberikan pemahaman tentang ide dasar REBT dan memahami bahwa pikiran bertautan dengan emosi dan tingkah laku. Menantang pemikiran dan keyakinan terjadi dalam tiga bentuk. Menantang kognisi, melalui pertanyaan-pertanyaan langsung, penalaran logis dan persuasi. Tantangan imajinal menggunakan kemampuan klien untuk berimajinasi; tantangan tingkah laku mencakup bertingkah laku dengan cara yang bertentangan dengan yang biasanya dilakukan klien, misalnya melalui bermain peran atau menyelesaikan tugas ketika klien harus melakukan sesuatu yang dahulunya dianggap tidak mungkin untuk dilakukannya. Kadang-kadang klien harus membaca buku membantu diri-sendiri (self-help). Dua teknik lain adalah konfrontasi dan memberi dukungan. Secara eksplisit klien didorong untuk membuang proses-proses berpikir yang tidak bermanfaat.
            Aaron Beck, Albert Ellis, dan Donald Meichenbaum adalah tiga pakar pendekatan kognitif behavioral. Ada terdapat berbagai perbedaan dalam pendekatan mereka. Tetapi, seperti yang dikatakn oleh Gladding (2004), kebanyakan terapi kognitif pada akhirnya akan melibatkan tingkah laku juga, sehingga dapat dikatakan sebagai kognitif-behavioral juga


2.4       Teori Humanistik
             Istilah humanistik dalam hubungannya dengan konseling, memfokuskan pada potensi individu untuk secara aktif memilih dan membuat keputusan berkaitan  dengan dirinya sendiri dan lingkungannya. Para profesinal  yang memakai pendekatan humanistik membantu individu untuk meningkatkanpemahaman diri melalui mengalami perasaan-perasaan mereka. Isitilah humanistik sangat luas memfokuskan pada individu sebagai pembuat keputusan dan pencetus pertumbuhan dan perkembangan diri mereka sendiri (Gladding, 2004). Yang akan dibicarakan di sini adalah Person-centered counseling dari Carl Rogers.

A.    Person-Centered Counseling (Client-centered Conseling)
            Carl Rogers adalah orang yang diidentikkan dengan konseling tipe ini. Ialah yang peertama-tama memformulasikan teori ini dalam bentuk psikoterapi nondirektif di dalam bukunya Counseling and Psychoterapy, yang terbit pada tahun 1942. Teori ini kemudian berkembang menjadi client-centered/person-centered counseling dan diaplikasikan untuk pendekatan kelompok, keluarga, masyarakat dan juga untuk individu.

B.     Pandangan Tentang Manusia
            Implisit dalam person-centered counseling adalah pandangan bahwa orang pada dasaranya adalah baik (Rogers,1971). Karakteristik manusia adalah positive, forward moving, constructive, realistc, and trustworthy (Rogers,1957, hlm 99). Setiap pribadi adalah orang yang sadar, terarah dari dalam (inner directed) dan bergerak ke arah aktualisasi diri, sejak dari bayi.
            Menurut Rogers, aktualisasi diri adalah dorongan yang paling menonjol dan memotivasi eksistensi dan mencakup tindakan yang mempengaruhi keseluruhan kepribadian. Rogers memandang manusia secara fenomenologis: yang penting adalah persepsi manusia tentang realitas. Kadang-kadang teori Rogers dipandang sebagai self-theory  karena  konsep self adalah sentral dalam teorinya. Self berasal dari pengalaman dari seseorang, dan kesadaran tentang self ini.
            Untuk munculnya self  yang sehat, orang memerlukan positive regard-love warmth, care, dan accepatance. Tetapi, pada masa kanak-kanak dan kemudian, orang biasanya menerima conditional regards dari orangtua dan orang lain. Perasaan berharga berkembang bila seseorang bertingkah laku dengan cara tertentu sesuai dengan yang dikehendaki oleh orang yang persetujuannya diharapkan, karena akseptansi kondisional mengajarkan orang untuk merasa berharga hanya bila ia konform dengan orang lain. Individu yang terperangkap dalam dilema semacam ini menjadi sadar akan inkongruitas antara persepsi diri dan realitas. Kalau orang tidak melakukan seperti yang dikehendaki orang lain, ia tidak akan diterima atua dihargai. Tetapi, bila ia konfrom, ia aka n membuka jurang antara ideal self (apa yang orang inginkan dirinya untuk menjadi) dan real self (apa adanya dirinya). Makin jauh jurang antara keduanya, orang akan menjadi makin maladjusted.

C.    Peran Konselor
            Peran konselor bersifat holistik, berakar pada cara mereka berada dan sikap-sikap mereka, tidak pada teknik-teknik yang dirancang agar klien melakukan sesuatu. Penelitian menunjukkan bahwa sikap-sikap terpisahlah yang memfasilitasi perubahan pada klien dan bukan pengetahuan, teori, atau teknik-teknik yang mereka miliki. Terapis menggunakan dirinya sendiri sebagai instrument perubahan.  Fungsi mereka menciptakan iklim terapeutik yang membantu klien untuk tumbuh. (Rogers, 1951, 1980) ia juga menulis tentang kualitas I-Thou. Konselor  menyadari bahasa verbal dan nonverbal klien dan merefleksikannya kembali. Konselor dank lien tidak tahu kemana sesi akan terarah dan sasaran apa yang akan dicapai. Konselor percaya bahwa klien akan mengembangkan agenda mengenai apa yang ingin dicapainya. Konselor hanya fasilitator dan kesabaran adalah esensial. 


D.    Teknik-Teknik Konseling
            Untuk terapis person-centered, kualitas hubungan konseling jauh lebih penting daripada teknik. Rogers (1957) percaya bahwa ada tiga kondisi yang perlu dan sudah cukup untuk konseling, yaitu  (1)empathy; (2) positive regard (acceptance), dan (3) congruence (genuineness).
            Empati adalah kemampuan konselor untuk merasakan bersama dengan klien dan menyampaikan pemahaman ini kembali kepada mereka. Empati adalah usaha untuk berpikir tentang atau untuk mereka (brammer, Abrego & Shostrom; 1993). Rogers (1980) mengatakan bahwa penelitian yang ada makin menunjukkan bahwa empati dalam suatu hubungan mungkin adalah faktor yang paling berpengaruh dan sudah pasti merupakan salah satu faktor yang paling membawa perubahan dan pembelajaran. Positive regard yang dikenal juga sebagai akseptansi adalah genuine caring yang mendalam untuk klien sebagai pribadi-sangat menghargai klien karena keberadaannya (Rogers,1971, 1980). Kongruensi adalah kondisi transparan dalam hubungan terapeutik dengan tidak memakai topeng atau pulasan-pulasan (Rogers, 1980). Menurut Rogers perubahan kepribadian yang positif dan signifikan hanya bisa terjadi di dalam suatu hubungan.      


















BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Pendekatan psikoanalisa dalam konseling menurut Freud adalah sangat efektif untuk menyembuhkan klien/ pasien yang histeria, cemas, obsesi neurosis. Namun demikian kasus- kasus sehari- hari dapat juga digunakan pendekatan psikoanalisa ini untuk mengatasinya (Hansen, 1982). Menurut Freud psikoanalisa merupakan suatu metode penyembuhan yang lebih bersifat psikologis dari pada dengan cara- cara fisik dan konsep- konsep psikoanalisa banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan konseling.
Pendekatan behavioral merupakan pilihan untuk membantu klien yang mempunyai masalah spesifik seperti gangguan makan, penyalahgunaan zat, dan disfungsi psikoseksual. Juga bermanfaat untuk mambantu gangguan yang diasosiasikan dengan anxietas, stres, asertivitas, berfungsi sebagai orangrua dan interaksi sosial (Gladding, 2004).
Teori- teori konseling yang bersifat kognitif memfokuskan pada proses- proses mental dan pengaruhnya pada kesehatan mental dan tingkah laku. Premis umum dari semua pendekatan kognitif ialah bahwa pikiran seseorang menentukan bagaimana perasaan mereka dan bagaimana mereka akan bertingkah laku.
Pendekatan humanistik membantu individu untuk meningkatkanpemahaman diri melalui mengalami perasaan-perasaan mereka. Isitilah humanistik sangat luas memfokuskan pada individu sebagai pembuat keputusan dan pencetus pertumbuhan dan perkembangan diri mereka sendiri (Gladding, 2004).






DAFTAR PUSTAKA
Latipun. 2011. Psikologi Konseling. Malang :UPT Penerbitan Universitas                           Muhammadiyah Malang

Surya, Muhammad.1988. Dasar- Dasar Konseling Pendidikan (Konsep dan Teori).           Yogyakarta : Kota Kembang “Yogyakarta”

Lesmana, Jeanette Murad. 2006. Dasar- Dasar Konseling. Jakarta :UI Press





1 komentar:

  1. Terimakasih.. tulisannya sangat bermanfaat sekali

    http://http%3A%2F%2Fblog.binadarma.ac.id%2Fay_ranius.wordpress.com

    BalasHapus